Mungkin alismu bertautan sesaat setelah membaca tulisanku. Lalu tanganmu menggaruk kepala yang tak gatal. Pikiran mengawang jauh, mempertanyakan apa pula maksud dari tulisan ini. Biarlah... Bingung yang kau rasa belum lebih hebat dibanding kerinduanku yang telah jauh menusuk dada. Anggap saja deretan aksara yang kau baca adalah isyarat kerinduan yang sudah lama ingin bersua.
Di sini, langit menurunkan gerimis dengan melodi ritmis. Bila kau memelukku tepat di belakang, mungkin akan terasa lebih manis. hehe
Rasanya aku semakin tak tahan dengan perasaan dan pikiranku sendiri. Pernah aku mencoba melawan rindu dengan berusaha sekuat mungkin untuk mengabaikan. Tapi kemudian, magis senyum wajahmu malah semakin jelas menggantung dalam ingatan. Aku menyerah saat itu juga. Membiarkan kerinduan masuk dengan caranya.
Maka, inilah yang aku lakukan sekarang. Menuliskan untukmu. Berharap kerinduan ikut terbawa pada setiap aksara yang tertera.
sebenarnya aku merindu, atau mungkin mendamba?
saat kita, —aku dan kamu— duduk diam di beranda senja
saling berhadapan tanpa mengungkap kata
berujar cinta dan kesetiaan melalui hati dan mata yang bicara
saat kita, —aku dan kamu— duduk diam di beranda senja
saling berhadapan tanpa mengungkap kata
berujar cinta dan kesetiaan melalui hati dan mata yang bicara
maka maafkan bila lancang
selalu kubingkai senyummu dalam figura sepi paling puisi
agar malam ini aku bisa mengenang dan merinduimu
—lagi
selalu kubingkai senyummu dalam figura sepi paling puisi
agar malam ini aku bisa mengenang dan merinduimu
—lagi